Oleh: AGUS RAHMAT
LAJU motor tua ini, mulai tersendat-sendat mendaki tanjakan. Dua kali tanjakan di ncai rangga to’I dan di atas jembatan desa Ndano, sedikit banyak menguras tenaganya.
Motor tua ini telah menghantarkan kami menuju tempat wisata Madapangga.
”Taman Wisata Alam Madapangga”. Sebuah tulisan itu seolah ingin membertahu kami bahwa kami berada di tempat wisata alam. Sejenak motor di parkir dan membeli minuman botol, kami melenggang masuk. Kali ini tidak harus membeli karcis. Mungkin karcis hanya berlaku di saat musim libur.
Kami hendak ingin membasuh badan ini di sebuah kolam buatan di sisi kanan. Apes bagi kami, kolam itu sudah tidak berair. Kering seperti tolo sera atau tolo kopa yang dilanda musim kemarau. Akhirnya, kami putuskan untuk berendam di sumber mata airnya. Di sebuah pohon besar, disitulah sumber utama mata air madapangga.
Dingin, sejuk dan tentu member semangat yang luar biasa saat tubuh ini terendam air. Walau dasarnya bisa tersentuh kaki, tapi tidak sampai menimbulkan kekotoran. Airnya tetap bersih dan jernih. Lumayan menyejukkan di sore itu setelah kami menguras keringat bermain takraw di Dena.
Berjam-jam kami berendam dan bercanda gurau. Menikmati surga dunia yang dikaruniakan oleh-Nya kepada umat yang bisa bersyukur. Aku merasa tidak ingin hengkang dari tempat ini. Tapi waktu yang mulai sore, kami harus bergegas pulang.
Sejenak, di tepian pohon madapangga itu, aku bernostalgia. Pikiranku bernostalgia ketika masih kecil, masih duduk di bangku SD. Setelah pembagian rapot, sekolah selalu mengadakan liburan. Madapangga adalah tempat yang paling ramai dikunjungi. Tidak hanya warga di sekitar kec.Madapangga dan Bolo, bahkan hingga Sape dan Wera.
Sangat ramai, apalagi yang berenang di tempat kami tadi berendam. Ada yang terjun dari pinggirnya dan bahkan ada yang nekat naik pohon dan terjun dengan gaya mereka. Aku takut menjadi seperti kebanyakan mereka, karena kualitas berenangku masih sangat amatir. Sebab, kalau tidak bisa berenang, bisa-bisa kita tenggelam.
Itu kisah dulu, jauh tahun dulu. Mungkin para pembaca pun sempat menikmati berenang di dekat sumber mata air madapangga ini. Namun kini, tidak seperti dulu. Air madapangga kini telah dangkal.
Hanya air yang ada di dekat pohon besar itu yang bisa di manfaatkan untuk mandi. Di pinggirnya sudah tidak ada air lagi. Pohon itu sudah tua dan tidak bisa mendistribusikan lagi airnya hingga ke pinggir. Yang tersisa kini hanya wono saja.
Aku mencoba mengamati, kenapa berubah seperti ini? Beberapa kisah para warga, membuat ku terhenyak. ”Fu’u haju ta ese mai ba madapangga ka mboto ra ma kola” kata pria yang pernah melewatinya. Berarti, kurangnya air yang keluar karena semakin maraknya penebangan. Sehingga resapan air sudah tidak tertampung lagi.
”Kita juga sudah gak pake PDAM. Air yang keluar kecil. Lebih baik pake mesin dan dibor sendiri saja” papar warga yang lain. Itu sudah pasti. Dulu, sempat juga bapak mengeluh karena air yang keluar sangat kotor, berwarna coklat, kecil pula keluarnya.
Akankah kisah berenang di mata air madapangga hanya sebuah cerita dongeng buat anak cucu kita kelak? Atau kah pohon itu akan runtuh akibat longsor? Atau juga tempat ini akan menjadi situ sejarah saja? Bukan lagi wisata alam madapangga? Entah..entah dan entahlah..(*)
3 komentar:
tahun lalu saya sempat ke madapangga dan mengambil beberapa foto. Memang agak miris melihat madapangga menjadi sedikit *gersang*..
sangat memprihatinkan... makax sya skrg melakukan penelittian skripsi sya di TWA madapangga..
Posting Komentar