SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA MENA DOU DENA, MBOTO KANGAMPU

Kamis, 22 Juli 2010

Bangkitnya Jihad Perang Sabil Dou Dena

* Sekilas Perang Dena 1910 (1-bersambung)

MASYARAKAT Desa Dena sejak dahulu telah dikenal sebagai masyarakat yang religius. Semua pelaksanaan dari suatu kegiatan dilandasi dengan suatu aturan yang bertalian dengan agama Islam yang dianutnya.

Hal ini telah berurat dan berakar pada masyarakat. Masyarakat Dena menganut Islam 100 persen dengan pemahaman agama yang condong kepada majhab Imam Syafii.

Untuk memperkuat dan menambah tebalnya keimanan dan pemahaman ajaran agama Islam yang dianutnya, masyarakat Dena mempunyai program rutin untuk melakukan pertukaran tuan guru ke desa lain.

Pertukaran biasanya dengan Desa Ngali, Sila Nata, Belo, Dodu, sampai ke Kabupaen Dompu.

Dari pertukaran tuan-tuan guru muncul sejumlah ulama Dena terkemuka antara lain Tuan Guru H Usman (Abu Jenggo), Tuan Guru H Abdul Aziz, Tuan Guru H Abdurrahim (Abu To’i), Tuan Guru H Hasan, Tuan Guru H Abubakar, Tuan Guru H Husen, Tuan Guru H Mustafa, Tuan Guru H Mahamu, Abu La No dan banyak lagi.

Periode berikutnya muncul pula Tuan Guru H Assidik, H Yunus, Ompu Duru Je, H Ahmad Abu La Dija, H Mahamu Abu La Beda, Abdul Aziz Ama Hami, dan periode akhir ini muncul Tuan Guru H Idris HM Siddik, H Abubakar H Idris, H Abdollah Abu Mpore, HM Said HM Siddik, Tuan Guru Arsyad Muhammad, dn lainnya.

Masyarakat Dena tidak ingin agama Islam yang dianutnya bercampur aduk dengan agama lainnya apalagi dengan pemahaman kafir. Pembaruan agama lain sangat dibenci masyarakat Dena.

Pada tahun 1908 Kerajaan Mbojo dalam keadaan gonjang-ganjing. Suasana politik dalam negeri Kesultanan Bima dalam keadaan memanas.

Saat itu Sultan Bima mengirimkan utusan ke Dena, utusan itu dipimpin oleh Badula Uba Unu. Utusan itu untuk menjumpai Gelarang Dena (kepala Desa Dena).

Saat itu Gelarang Dena dipegang oleh La Kao Ama Huse. Utusan itu membawa berita bahwa Ompu Dena dengan segenap penduduknya beserta para alim-ulamanya harus mengakui dan tunduk pada hasil musyawarah di Pena Pali.

Hasil kesepakatan itu tertuang dalam sura huri (surat kulit). Pesan itu mempertegas agar Belanda jangan dilawan karena kalau dilawan akan menimbulkan masalah yang tidak dikehendaki.

"Menerima kedatangan orang Belanda bukan berarti kita tunduk kepada Belanda," isi berita itu yang dianggap sebagai kebijaksanaan dan cara diplomasi dari Sultan Bima untuk menjaga terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki berhubung pada saat itu suasana Kerajaan Bima dalam keadaan tidak normal.

Pesan Sultan ini tidak bisa diterima Ompu Dena karena beberapa tuan guru Dena tidak berada di tempat. H Usman Abu Jenggo dan H Abdul Aziz sedang berada di Ngali dalam rangka pertukaran tuan guru. Akibatnya utusan Sultan Bima kembali ke kota dengan tidak membawa hasil.

Sekembalinya Tuan Guru H Usman dari Ngali maka diundanglah segenap tuan guru dan para ulama yang ada di Desa Dena. Diadakanlah musyawarah dengan mengambil tempat di masjid Dena (kini Masjid Baitusuhada). Ompu Dena menyampaikan pesan Sultan Bima yang diterimanya lewat utusan.

Pesan Sultan Bima yakni masyarakat Dena harus mengakui membayar belasting (pajak) terhadap Belanda.

Kedua, masyarakat Dena harus menerima kedatangan orang Belanda di Dena dan masyarakat tidak boleh melakukan perlawanan.

Setelah diadakan rembuk bersama dibulatkanlah tekad dan menetapkan keputusan tegas bahwa masyarakat Desa Dena tidak akan tunduk untuk membayar belasting pada Belanda. membayar berarti takluk pada Belanda.

Kedua, akut kepada Belanda berarti telah dijajah oleh Belanda dan akan menodai kemurnian agama islam yang dianut oleh masyarakat Dena.

"Dijajah oleh Belanda berarti kafir. Daripada kafir lebih baik melaksanakan perang sabil, karena perang sabil itu adalah petunjuk agama," pekik para ulama Dena.

Karena pesan dari Sultan Bima tidak mendapat tanggapan baik dari masyarakat Dena, maka sultan mengirimkan utusan yang kedua kalinya dipimpin oleh Pajuri Jala.

Pesan raja, "Jika masyarakat Dena tidak mau mengerti kebijakannya maka akan terjadi peperangan. Sultan Bima tidak akan bertanggung jawab terhadap peristiwa yang akan terjadi."

Kunjungan itupun mengalami kegagalan. Beberapa pemuka agama Dena belum kembali di tempat, malah beberapa ulama lainnya berpergian, ada yang ke Ngali, Dodu, dan malah ada yang ke daerah Dompu. Sejumlah tuan guru tersebar ke luar kampung karena beberapa hari lagi akan tiba bulan puasa Ramadhan.

Sultan Bima semakin gusar dengan "ketidakpatuhannya" masyarakat dan ulama Dena terhadap perjanjian kerjaan dengan Belanda di Pali Pena.

Pada Maret 1910, Sultan Bima kembali mengirimkan utusannya yang ketiga kalinya di pimpin oleh Rato Parenta dan didampingi oleh dua orang pengawal.

Sesampainya di Sila utusan tersebut mengajak tuan guru dari sila yang bernama H Mahamu. Rato Parenta tahu betul bahwa tuan guru H Mahamu mempunyai hubungan keluarga dengan sejumlah tuan guru di Dena.

Saat iu putra tuan guru H Mahamu ingin dipertunangkan dengan putri tuan guru H Abdurrahim alias Abu To’i yang bernama St Rukaya.

Dengan kehadiran H Mahamu di Dena akan diharapkan melicinkan jalan untuk memahami harapan Sultan Bima. Utusan itu diterima oleh Ompu Dena dengan segenap alim ulama yang dipimpin oleh H Usman (Abu Jenggo).

Seusai utusan itu menyampaikan pesan Sultan Bima, H Usman alias Abu Jenggo menyampaikan

”Wahai Rato Parenta utusan paduka Sultan Bima. Ambun beribu ampun hamba atas nama sekalian masyarakat seisi kampung, kami hantarkan kehadapan paduka raja Sultan Ibrahim yang merajai sejagat raya di antero Paju Mbojo. Sujud hamba mulai dari telapak kaki sampai ke ujung rambut," ujarnya.

Titah baginda sultan semuannya kami junjung tinggi, beratnya kami pikul bersama, dan ringannya jangan dikata. Katanya, titah baginda sultan kali ini oleh hamba dan sekalian penduduk Dena yang tiada berdaya ini dirasa sangat berat.

"Orang Belanda menginjakkan kakinya di Dena berarti telah menodai agama Islam yang telah dianut oleh segenap penduduk Desa Dena pada khususnya dan masyarakat Mbojo pada umumnya."

Orang Belanda adalah orang kafir, katanya, karena itu kami mohon agar orang Belanda dilarang masuk dan menginjakkan kakinya di desa Dena.

"Kalau Belanda diijinkan masuk berarti Belanda telah menginjak dan menodai masyarakat dana Mbojo yang tercinta ini. Masyarakat Dena ingin menyucikan agama Islam yang dianut masyarakat Desa Dena." ujarnya.

Apalah artinya jika Belanda menginjakan kakinya di Desa Dena. "Karena itu perkenankan permohonan hamba atas segenap penduduk, agar niat baik dari sultan dapat dapat dipikirkan lebih matang lagi," tegas Abu Jenggo.

Kalaupun Belanda memaksa diri masuk di desa Dena, maka dengan segala kemampuan yang ada pada diri ulama dan masyarakat Dena akan dipertaruhkan hingga nyawa sekalipun.

"Masyarakat Dena akan melawan dengan Perang Sabil. Hamba berharap agar belasting dan punguan berupa apa saja janganlah dipungut oleh Belanda, tetapi sudilah pungutan itu ditangani langsung oleh raja,” pintanya.

1 komentar:

Indahnya Menjadi Wanita Sholihat mengatakan...

keren ya... gimana caranya agar Dena Bangkit sekarang Dena sudah ga punya tokoh2 panutan, jika di sampaikan ke generasi muda tentang para tokoh jaman dulu maka akan muncul tunas2 baru.
saya akan ajarkan ke anak-anak di PAUD Anak Sholeh selayang pandang tentang Dena termasuk perang Dena semoga bisa dipahami oleh Anak-anak. Salam

Idha Dhena