* Sekilas Perang Dena 1910 (1-bersambung)
MASYARAKAT Desa Dena sejak dahulu telah dikenal sebagai masyarakat yang religius. Semua pelaksanaan dari suatu kegiatan dilandasi dengan suatu aturan yang bertalian dengan agama Islam yang dianutnya.
Hal ini telah berurat dan berakar pada masyarakat. Masyarakat Dena menganut Islam 100 persen dengan pemahaman agama yang condong kepada majhab Imam Syafii.
Untuk memperkuat dan menambah tebalnya keimanan dan pemahaman ajaran agama Islam yang dianutnya, masyarakat Dena mempunyai program rutin untuk melakukan pertukaran tuan guru ke desa lain.
Pertukaran biasanya dengan Desa Ngali, Sila Nata, Belo, Dodu, sampai ke Kabupaen Dompu.
Dari pertukaran tuan-tuan guru muncul sejumlah ulama Dena terkemuka antara lain Tuan Guru H Usman (Abu Jenggo), Tuan Guru H Abdul Aziz, Tuan Guru H Abdurrahim (Abu To’i), Tuan Guru H Hasan, Tuan Guru H Abubakar, Tuan Guru H Husen, Tuan Guru H Mustafa, Tuan Guru H Mahamu, Abu La No dan banyak lagi.
Periode berikutnya muncul pula Tuan Guru H Assidik, H Yunus, Ompu Duru Je, H Ahmad Abu La Dija, H Mahamu Abu La Beda, Abdul Aziz Ama Hami, dan periode akhir ini muncul Tuan Guru H Idris HM Siddik, H Abubakar H Idris, H Abdollah Abu Mpore, HM Said HM Siddik, Tuan Guru Arsyad Muhammad, dn lainnya.
Masyarakat Dena tidak ingin agama Islam yang dianutnya bercampur aduk dengan agama lainnya apalagi dengan pemahaman kafir. Pembaruan agama lain sangat dibenci masyarakat Dena.
Pada tahun 1908 Kerajaan Mbojo dalam keadaan gonjang-ganjing. Suasana politik dalam negeri Kesultanan Bima dalam keadaan memanas.
Saat itu Sultan Bima mengirimkan utusan ke Dena, utusan itu dipimpin oleh Badula Uba Unu. Utusan itu untuk menjumpai Gelarang Dena (kepala Desa Dena).
Saat itu Gelarang Dena dipegang oleh La Kao Ama Huse. Utusan itu membawa berita bahwa Ompu Dena dengan segenap penduduknya beserta para alim-ulamanya harus mengakui dan tunduk pada hasil musyawarah di Pena Pali.
Hasil kesepakatan itu tertuang dalam sura huri (surat kulit). Pesan itu mempertegas agar Belanda jangan dilawan karena kalau dilawan akan menimbulkan masalah yang tidak dikehendaki.
"Menerima kedatangan orang Belanda bukan berarti kita tunduk kepada Belanda," isi berita itu yang dianggap sebagai kebijaksanaan dan cara diplomasi dari Sultan Bima untuk menjaga terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki berhubung pada saat itu suasana Kerajaan Bima dalam keadaan tidak normal.
Pesan Sultan ini tidak bisa diterima Ompu Dena karena beberapa tuan guru Dena tidak berada di tempat. H Usman Abu Jenggo dan H Abdul Aziz sedang berada di Ngali dalam rangka pertukaran tuan guru. Akibatnya utusan Sultan Bima kembali ke kota dengan tidak membawa hasil.
Sekembalinya Tuan Guru H Usman dari Ngali maka diundanglah segenap tuan guru dan para ulama yang ada di Desa Dena. Diadakanlah musyawarah dengan mengambil tempat di masjid Dena (kini Masjid Baitusuhada). Ompu Dena menyampaikan pesan Sultan Bima yang diterimanya lewat utusan.
Pesan Sultan Bima yakni masyarakat Dena harus mengakui membayar belasting (pajak) terhadap Belanda.
Kedua, masyarakat Dena harus menerima kedatangan orang Belanda di Dena dan masyarakat tidak boleh melakukan perlawanan.
Setelah diadakan rembuk bersama dibulatkanlah tekad dan menetapkan keputusan tegas bahwa masyarakat Desa Dena tidak akan tunduk untuk membayar belasting pada Belanda. membayar berarti takluk pada Belanda.
Kedua, akut kepada Belanda berarti telah dijajah oleh Belanda dan akan menodai kemurnian agama islam yang dianut oleh masyarakat Dena.
"Dijajah oleh Belanda berarti kafir. Daripada kafir lebih baik melaksanakan perang sabil, karena perang sabil itu adalah petunjuk agama," pekik para ulama Dena.
Karena pesan dari Sultan Bima tidak mendapat tanggapan baik dari masyarakat Dena, maka sultan mengirimkan utusan yang kedua kalinya dipimpin oleh Pajuri Jala.
Pesan raja, "Jika masyarakat Dena tidak mau mengerti kebijakannya maka akan terjadi peperangan. Sultan Bima tidak akan bertanggung jawab terhadap peristiwa yang akan terjadi."
Kunjungan itupun mengalami kegagalan. Beberapa pemuka agama Dena belum kembali di tempat, malah beberapa ulama lainnya berpergian, ada yang ke Ngali, Dodu, dan malah ada yang ke daerah Dompu. Sejumlah tuan guru tersebar ke luar kampung karena beberapa hari lagi akan tiba bulan puasa Ramadhan.
Sultan Bima semakin gusar dengan "ketidakpatuhannya" masyarakat dan ulama Dena terhadap perjanjian kerjaan dengan Belanda di Pali Pena.
Pada Maret 1910, Sultan Bima kembali mengirimkan utusannya yang ketiga kalinya di pimpin oleh Rato Parenta dan didampingi oleh dua orang pengawal.
Sesampainya di Sila utusan tersebut mengajak tuan guru dari sila yang bernama H Mahamu. Rato Parenta tahu betul bahwa tuan guru H Mahamu mempunyai hubungan keluarga dengan sejumlah tuan guru di Dena.
Saat iu putra tuan guru H Mahamu ingin dipertunangkan dengan putri tuan guru H Abdurrahim alias Abu To’i yang bernama St Rukaya.
Dengan kehadiran H Mahamu di Dena akan diharapkan melicinkan jalan untuk memahami harapan Sultan Bima. Utusan itu diterima oleh Ompu Dena dengan segenap alim ulama yang dipimpin oleh H Usman (Abu Jenggo).
Seusai utusan itu menyampaikan pesan Sultan Bima, H Usman alias Abu Jenggo menyampaikan
”Wahai Rato Parenta utusan paduka Sultan Bima. Ambun beribu ampun hamba atas nama sekalian masyarakat seisi kampung, kami hantarkan kehadapan paduka raja Sultan Ibrahim yang merajai sejagat raya di antero Paju Mbojo. Sujud hamba mulai dari telapak kaki sampai ke ujung rambut," ujarnya.
Titah baginda sultan semuannya kami junjung tinggi, beratnya kami pikul bersama, dan ringannya jangan dikata. Katanya, titah baginda sultan kali ini oleh hamba dan sekalian penduduk Dena yang tiada berdaya ini dirasa sangat berat.
"Orang Belanda menginjakkan kakinya di Dena berarti telah menodai agama Islam yang telah dianut oleh segenap penduduk Desa Dena pada khususnya dan masyarakat Mbojo pada umumnya."
Orang Belanda adalah orang kafir, katanya, karena itu kami mohon agar orang Belanda dilarang masuk dan menginjakkan kakinya di desa Dena.
"Kalau Belanda diijinkan masuk berarti Belanda telah menginjak dan menodai masyarakat dana Mbojo yang tercinta ini. Masyarakat Dena ingin menyucikan agama Islam yang dianut masyarakat Desa Dena." ujarnya.
Apalah artinya jika Belanda menginjakan kakinya di Desa Dena. "Karena itu perkenankan permohonan hamba atas segenap penduduk, agar niat baik dari sultan dapat dapat dipikirkan lebih matang lagi," tegas Abu Jenggo.
Kalaupun Belanda memaksa diri masuk di desa Dena, maka dengan segala kemampuan yang ada pada diri ulama dan masyarakat Dena akan dipertaruhkan hingga nyawa sekalipun.
"Masyarakat Dena akan melawan dengan Perang Sabil. Hamba berharap agar belasting dan punguan berupa apa saja janganlah dipungut oleh Belanda, tetapi sudilah pungutan itu ditangani langsung oleh raja,” pintanya.
Kamis, 22 Juli 2010
Diduga Perdagangkan Manusia, 2 Perempuan Ditahan
* Dau Dena Dalam Liputan Media
Rabu, 19/07/2006 14:34 WIB; Gunawan Mashar - detikNews
Makassar - Polresta Pelabuhan Makassar mengamankan dua perempuan yang diduga sebagai agen pemasok perempuan untuk diperdagangkan ke Malaysia. Selain 2 perempuan ini, polisi juga mengamankan 144 orang warga Bima yang hendak ke Malaysia.
Penangkapan 2 orang ini dilakukan aparat setelah mendapat informasi dari Pemerintah Kabupaten Bima. Sayangnya, aparat terkesan over menangani kasus ini. Sebab, mendengar informasi bahwa ada puluhan orang yang akan dikirim ke Malaysia untuk diperdagangkan, sekarang ada di Pelabuhan Makassar.
Para korban ini naik Kapal Tilong Kabila dari Bima ke Makassar. Rencananya, di Makassar kemudian akan menumpangi kapal Kerinci menuju Kalimantan. Kemudian akan menyeberang ke Malaysia. Aparat langsung mengumumkan di mikrofon pelabuhan, yang meminta seluruh warga asal Bima yang berencana ke Malaysia segera turun dari kapal. Sekadar diketahui, saat itu, kapal Kerinci yang mengangkut mereka tak lama lagi berangkat ke Kalimantan, sekitar pukul 09.00 Wita, Rabu (19/07/2006). Alhasil, banyak penumpang yang bukan korban perdagangan manusia, pun ikut turun. Sebanyak 144 orang kini masih 'terlantar' di pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar. Diperiksa di Polres Pelabuhan Diyakini, dari 144 orang yang kini 'ditahan' di pelabuhan, puluhan di antaranya adalah korban, yang bakal dikirim ke Malaysia untuk diperdagangkan. Hingga saat ini, 2 tersangka pemasok, yakni Siti Mariam dan Suhaemi, masih diperiksa Mapolresta Pelabuhan Makassar. Dari hasil pemeriksaan sementara, Suhaemi mengaku membawa 20 orang perempuan dan laki-laki. Sejumlah orang ini, menurut Suhaemi, yang kerap dipanggil Mak Ani, berasal dari Desa Dena, Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima. Laporan dari Kepala Desa Dena, M Ismail, berupa faks yang sampai ke aparat kepolisian, menyebutkan ada sejumlah warganya yang dibawa dengan alasan untuk dipekerjakan di Malaysia. Sementara itu, 9 orang dari desa Woto, Kecamatan Madapangga juga telah ditahan di Kabupaten Dompu sebelum transit di Makassar, yang kemudian menuju Kalimantan, lalu menyeberang ke Malaysia. (asy/)
Rabu, 19/07/2006 14:34 WIB; Gunawan Mashar - detikNews
Makassar - Polresta Pelabuhan Makassar mengamankan dua perempuan yang diduga sebagai agen pemasok perempuan untuk diperdagangkan ke Malaysia. Selain 2 perempuan ini, polisi juga mengamankan 144 orang warga Bima yang hendak ke Malaysia.
Penangkapan 2 orang ini dilakukan aparat setelah mendapat informasi dari Pemerintah Kabupaten Bima. Sayangnya, aparat terkesan over menangani kasus ini. Sebab, mendengar informasi bahwa ada puluhan orang yang akan dikirim ke Malaysia untuk diperdagangkan, sekarang ada di Pelabuhan Makassar.
Para korban ini naik Kapal Tilong Kabila dari Bima ke Makassar. Rencananya, di Makassar kemudian akan menumpangi kapal Kerinci menuju Kalimantan. Kemudian akan menyeberang ke Malaysia. Aparat langsung mengumumkan di mikrofon pelabuhan, yang meminta seluruh warga asal Bima yang berencana ke Malaysia segera turun dari kapal. Sekadar diketahui, saat itu, kapal Kerinci yang mengangkut mereka tak lama lagi berangkat ke Kalimantan, sekitar pukul 09.00 Wita, Rabu (19/07/2006). Alhasil, banyak penumpang yang bukan korban perdagangan manusia, pun ikut turun. Sebanyak 144 orang kini masih 'terlantar' di pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar. Diperiksa di Polres Pelabuhan Diyakini, dari 144 orang yang kini 'ditahan' di pelabuhan, puluhan di antaranya adalah korban, yang bakal dikirim ke Malaysia untuk diperdagangkan. Hingga saat ini, 2 tersangka pemasok, yakni Siti Mariam dan Suhaemi, masih diperiksa Mapolresta Pelabuhan Makassar. Dari hasil pemeriksaan sementara, Suhaemi mengaku membawa 20 orang perempuan dan laki-laki. Sejumlah orang ini, menurut Suhaemi, yang kerap dipanggil Mak Ani, berasal dari Desa Dena, Kecamatan Madapangga, Kabupaten Bima. Laporan dari Kepala Desa Dena, M Ismail, berupa faks yang sampai ke aparat kepolisian, menyebutkan ada sejumlah warganya yang dibawa dengan alasan untuk dipekerjakan di Malaysia. Sementara itu, 9 orang dari desa Woto, Kecamatan Madapangga juga telah ditahan di Kabupaten Dompu sebelum transit di Makassar, yang kemudian menuju Kalimantan, lalu menyeberang ke Malaysia. (asy/)
Pendukung Cabup Bentrok Mobil Timses Dirusak, Seorang Pemuda Luka-luka
* Dou Dena Dalam Liputan Media
Bima (Suara NTB)
Kisruh Pilkada Kabupaten Bima semakin memanas. Jumat (26/3) sekitar pukul 20.30 WITA, dua pendukung calon bupati (cabup) terlibat bentrok. Akibatnya, seorang pemuda, Judin A. Bakar (19), terkena tebasan bagian perut. Imbas lain, mobil milik Nur AK, tim sukses salah satu calon rusak bagian kaca belakang.
Informasi yang dihimpun, kejadian dipicu aksi penghadangan rombongan Ketua tim Penggerak PKK Kabupaten Bima, Dinda Damayanti Putri di perbatasan Desa Woro dengan Mpuri, Kecamatan Madapangga sekitar pukul 16.00 WITA. Rombongan hendak menunju Woro untuk menyerahkan bantuan sembako. Warga kedua desa menolak kehadiran istri Bupati Bima itu. Alasannya, tidak jelas, namun diduga dilatari tidak disertakannya Wakil Ketua PKK, yang juga Istri Usman AK.
Polisi yang tiba di lokasi, berusaha bernegosisasi dengan warga agar mau membuka jalan. Namun mereka tetap ngotot, sampai istri Usman AK (calon Bupati Bima) itu diikutsertakan. Sebab Usman AK, yang saat ini masih menjadi Wakil Bupati aktif, lahir di Desa Woro. Karean negosiasi mentok dan polisi pun kewalahan, rombongan Dinda pun memilih kembali bersama sembako yang dibawanya.
Sekitar pukul 20.00 WITA, terjadi penghadangan rombongan H. Nur AK, Ketua Tim sukses pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Drs. H. Zainul Arifin – Drs. H. Usman AK (ZAMAN) di dekat Desa Mpuri. Pelakunya, diduga kelompok yang tidak terima
dengan penghadangan rombongan PKK sebelumnya.
Mustafa, saksi mata yang mendampingi keberangkatan Nur AK saat itu, mengaku, pelaku lebih dari 20 orang. Negosiasi pun diupayakan, namun blokir tak dibuka. Karena memilih mengalah, Nur AK yang saat itu menggunakan Taruna DR 783 DZ memilih balik kembali. “Saat mau kembali, jalan diblokir lagi di belakang kami,” ujar Mustafa. Bahkan saat mobil banting stir, dari arah belakang melayang sepotong batu-bata mengenai kaca belakang mobil. Pelakunya yang diduga N MS langsung diamankan warga Mpuri. Kedua kelompok menahan diri sehingga tidak terjadi adu fisik. Malam itu juga, Nur AK yang akrab disapa Abu Jenggo, langsung melaporkan kejadian itu ke Mapolsek Madapangga.
Insiden rupanya tidak berakhir, bahkan semakin mengarah pada sentimen antara kelompok pendukung ZAMAN dan pendukung incumbent Ferry Zulkarnain, ST - Drs. H. Syafrudin H.M Nur (FERSY). Pendukung FERSY bereaksi dengan memblokir jalan dekat persimpangan Bolo menuju Desa Rade. Para pelaku melarang warga Mpuri dan Warga Woro melintas di jalur tersebut.
Blokir terjadi di tiga titik. Selain di persimpangan Bolo, pemblokiran menggunakan batu dan kayu berlangsung di Desa Rade dan Desa Dena. Pelaku pemblokiran melakukan sweeping terhadap warga Desa Mpuri dan Woro, khususnya pendukung ZAMAN. Disinilah kejadian tragis itu berlangsung. Judin A. Bakar, pemuda asal Desa Rade yang hendak melintas, juga dihadang bersama kakaknya. Karena marah, Judin yang saat itu membawa benhur sempat cekcok dengan massa, namun sempat reda dan akhirnya diizinkan melintas. Belakangan, pelajar yang baru selesai UN ini kembali
untuk menuntun sepeda motor yang dibawa kakaknya, melintas diantara kerumunan massa.
Kali ini tidak hanya cekcok, Judin pun dikeroyok massa.
Tidak jelas arahnya, tiba-tiba Judin tersungkur bersimbah darah dengan bagian perut terluka. Korban langsung dilarikan ke Puskesmas Madapangga. Kejadian itu memicu kemarahan keluarga korban dan mengundang simpati massa pendukung ZAMAN. Mereka menuduh pelakunya dari kelompok yang memblokir jalan. Aksi balasan pun tak terelakkan. Diantara massa, ada yang membawa senjata tajam parang dan pedang, lantas mengejar para pelaku pemblokiran yang akhirnya kocar-kacir. Massa tandingan pun melampiaskan kemarahannya dengan membakar empat botol bensin di jalan raya.
Aksi berakhir setelah pasukan Dalmas Polres Bima ditambah personel pasukan Polsek Belo dan Polsek Madapangga diturunkan ke lokasi. Abu Jenggo, yang ditemui di Mapolsek Madapangga menduga ada ‘sponsor’ dibalik aksi penghadangan dan pengerusakan mobilnya tersebut. Namun dia mengaku tidak memperpanjang persoalan itu. Agar tidak ada aksi susulan, Abu Jenggo meminta para pendukung ZAMAN tidak beraksi. “Saya imbau pendukung saya tetap tenang dan jaga kondusivitas. Kita inginkan persaingan dalam Pilkada ini sehat, jangan dinodai perbuatan anarkis,” harapnya.
Pejabat Perwira Sementara (PPS) Wakapolres Bima, Kompol Dwi Wahyudi, SIK mengaku menurunkan tiga pleton pasukan Dalmas ditampah 30 personel pasukan Polsek Madapangga dan Polsek Bolo untuk mengamankan tiga lokasi pemblokiran jalan yang terjadi secara beruntun itu. “Tiga kejadian pemblokiran itu memang ada rangkaian dengan kejadian pertama,” ujarnya kepada wartawan di Polsek Madapangga.
Pada kejadian pertama, pihaknya sudah berusaha membujuk warga agar blokir di buka, Dinda memilih balik haluan. Namun ia tidak menyangka, muncul kejadian berikutnya di Desa Mpuri berbuntut pengerusakan mobil Nur AK.Terhadap kasus itu, kemungkinan tidak diusutnya, sebab korban memilih jalan damai. “Korban pak H. Nur AK hanya minta kaca mobilnya diganti,” ujarnya.
Sementara kejadian ketiga di Desa Dena yang menyebabkan seorang pemuda luka bacok, pihaknya berjanji akan mengusut pelakunya. “Kita sudah kantongi namanya, aparat buser masih melakukan pemburuan,” tandasnya. Saat rentetan kejadian berlangsung, pihaknya mengaku sempat kewalahan, sehingga memecah pasukan ke tiga titik kejadian. Termasuk pemblokiran di perbatasan Desa Woro, yang sempat dibuka, akhirnya ditutup lagi oleh warga. Belum tuntas negosiasi dengan warga disana, dia mendapat laporan kejadian susulan di Desa Dena.
Guna mengantisipasi kejadian susulan, pihaknya sudah mendapat jaminan dari pendukung ZAMAN dan pendukung FERSY agar bisa menahan diri. Hingga pukul 13.00 WITA, suasana di Bolo masih mencekam. Posko-posko pemenangan FERSY dan ZAMAN di sepanjang jalan yang biasanya diramaikan permainan kartu, terlihat sepi. Hingga Minggu (28/03) kemarin, informasinya, meski masih ada konsentrasi massa di beberapa titik, namun tidak ada kejadian susulan. (ris)
Bima (Suara NTB)
Kisruh Pilkada Kabupaten Bima semakin memanas. Jumat (26/3) sekitar pukul 20.30 WITA, dua pendukung calon bupati (cabup) terlibat bentrok. Akibatnya, seorang pemuda, Judin A. Bakar (19), terkena tebasan bagian perut. Imbas lain, mobil milik Nur AK, tim sukses salah satu calon rusak bagian kaca belakang.
Informasi yang dihimpun, kejadian dipicu aksi penghadangan rombongan Ketua tim Penggerak PKK Kabupaten Bima, Dinda Damayanti Putri di perbatasan Desa Woro dengan Mpuri, Kecamatan Madapangga sekitar pukul 16.00 WITA. Rombongan hendak menunju Woro untuk menyerahkan bantuan sembako. Warga kedua desa menolak kehadiran istri Bupati Bima itu. Alasannya, tidak jelas, namun diduga dilatari tidak disertakannya Wakil Ketua PKK, yang juga Istri Usman AK.
Polisi yang tiba di lokasi, berusaha bernegosisasi dengan warga agar mau membuka jalan. Namun mereka tetap ngotot, sampai istri Usman AK (calon Bupati Bima) itu diikutsertakan. Sebab Usman AK, yang saat ini masih menjadi Wakil Bupati aktif, lahir di Desa Woro. Karean negosiasi mentok dan polisi pun kewalahan, rombongan Dinda pun memilih kembali bersama sembako yang dibawanya.
Sekitar pukul 20.00 WITA, terjadi penghadangan rombongan H. Nur AK, Ketua Tim sukses pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Drs. H. Zainul Arifin – Drs. H. Usman AK (ZAMAN) di dekat Desa Mpuri. Pelakunya, diduga kelompok yang tidak terima
dengan penghadangan rombongan PKK sebelumnya.
Mustafa, saksi mata yang mendampingi keberangkatan Nur AK saat itu, mengaku, pelaku lebih dari 20 orang. Negosiasi pun diupayakan, namun blokir tak dibuka. Karena memilih mengalah, Nur AK yang saat itu menggunakan Taruna DR 783 DZ memilih balik kembali. “Saat mau kembali, jalan diblokir lagi di belakang kami,” ujar Mustafa. Bahkan saat mobil banting stir, dari arah belakang melayang sepotong batu-bata mengenai kaca belakang mobil. Pelakunya yang diduga N MS langsung diamankan warga Mpuri. Kedua kelompok menahan diri sehingga tidak terjadi adu fisik. Malam itu juga, Nur AK yang akrab disapa Abu Jenggo, langsung melaporkan kejadian itu ke Mapolsek Madapangga.
Insiden rupanya tidak berakhir, bahkan semakin mengarah pada sentimen antara kelompok pendukung ZAMAN dan pendukung incumbent Ferry Zulkarnain, ST - Drs. H. Syafrudin H.M Nur (FERSY). Pendukung FERSY bereaksi dengan memblokir jalan dekat persimpangan Bolo menuju Desa Rade. Para pelaku melarang warga Mpuri dan Warga Woro melintas di jalur tersebut.
Blokir terjadi di tiga titik. Selain di persimpangan Bolo, pemblokiran menggunakan batu dan kayu berlangsung di Desa Rade dan Desa Dena. Pelaku pemblokiran melakukan sweeping terhadap warga Desa Mpuri dan Woro, khususnya pendukung ZAMAN. Disinilah kejadian tragis itu berlangsung. Judin A. Bakar, pemuda asal Desa Rade yang hendak melintas, juga dihadang bersama kakaknya. Karena marah, Judin yang saat itu membawa benhur sempat cekcok dengan massa, namun sempat reda dan akhirnya diizinkan melintas. Belakangan, pelajar yang baru selesai UN ini kembali
untuk menuntun sepeda motor yang dibawa kakaknya, melintas diantara kerumunan massa.
Kali ini tidak hanya cekcok, Judin pun dikeroyok massa.
Tidak jelas arahnya, tiba-tiba Judin tersungkur bersimbah darah dengan bagian perut terluka. Korban langsung dilarikan ke Puskesmas Madapangga. Kejadian itu memicu kemarahan keluarga korban dan mengundang simpati massa pendukung ZAMAN. Mereka menuduh pelakunya dari kelompok yang memblokir jalan. Aksi balasan pun tak terelakkan. Diantara massa, ada yang membawa senjata tajam parang dan pedang, lantas mengejar para pelaku pemblokiran yang akhirnya kocar-kacir. Massa tandingan pun melampiaskan kemarahannya dengan membakar empat botol bensin di jalan raya.
Aksi berakhir setelah pasukan Dalmas Polres Bima ditambah personel pasukan Polsek Belo dan Polsek Madapangga diturunkan ke lokasi. Abu Jenggo, yang ditemui di Mapolsek Madapangga menduga ada ‘sponsor’ dibalik aksi penghadangan dan pengerusakan mobilnya tersebut. Namun dia mengaku tidak memperpanjang persoalan itu. Agar tidak ada aksi susulan, Abu Jenggo meminta para pendukung ZAMAN tidak beraksi. “Saya imbau pendukung saya tetap tenang dan jaga kondusivitas. Kita inginkan persaingan dalam Pilkada ini sehat, jangan dinodai perbuatan anarkis,” harapnya.
Pejabat Perwira Sementara (PPS) Wakapolres Bima, Kompol Dwi Wahyudi, SIK mengaku menurunkan tiga pleton pasukan Dalmas ditampah 30 personel pasukan Polsek Madapangga dan Polsek Bolo untuk mengamankan tiga lokasi pemblokiran jalan yang terjadi secara beruntun itu. “Tiga kejadian pemblokiran itu memang ada rangkaian dengan kejadian pertama,” ujarnya kepada wartawan di Polsek Madapangga.
Pada kejadian pertama, pihaknya sudah berusaha membujuk warga agar blokir di buka, Dinda memilih balik haluan. Namun ia tidak menyangka, muncul kejadian berikutnya di Desa Mpuri berbuntut pengerusakan mobil Nur AK.Terhadap kasus itu, kemungkinan tidak diusutnya, sebab korban memilih jalan damai. “Korban pak H. Nur AK hanya minta kaca mobilnya diganti,” ujarnya.
Sementara kejadian ketiga di Desa Dena yang menyebabkan seorang pemuda luka bacok, pihaknya berjanji akan mengusut pelakunya. “Kita sudah kantongi namanya, aparat buser masih melakukan pemburuan,” tandasnya. Saat rentetan kejadian berlangsung, pihaknya mengaku sempat kewalahan, sehingga memecah pasukan ke tiga titik kejadian. Termasuk pemblokiran di perbatasan Desa Woro, yang sempat dibuka, akhirnya ditutup lagi oleh warga. Belum tuntas negosiasi dengan warga disana, dia mendapat laporan kejadian susulan di Desa Dena.
Guna mengantisipasi kejadian susulan, pihaknya sudah mendapat jaminan dari pendukung ZAMAN dan pendukung FERSY agar bisa menahan diri. Hingga pukul 13.00 WITA, suasana di Bolo masih mencekam. Posko-posko pemenangan FERSY dan ZAMAN di sepanjang jalan yang biasanya diramaikan permainan kartu, terlihat sepi. Hingga Minggu (28/03) kemarin, informasinya, meski masih ada konsentrasi massa di beberapa titik, namun tidak ada kejadian susulan. (ris)
Perang Dena, Sejarah Perjuangan Mbojo
ADA beberapa hal yang selama ini memang menjadi pertanyaan besar ketika melihat realitas antara rasa dena dengan rasa yang lain. Taraf hidup masyarakatnya bisa dibilang secara umum sangat baik.
Tingkat pendidikan pun sangat tinggi. Secara infrastruktur, Dena menjadi sentra pendidikan unggul. Kulitas SDM nya pun mulai dari golongan tua hingga yang muda sangat mumpuni. Ada yang menggelitik di hati saya.
Kenapa begitu? tapi rasa di sekitar rasa dena kok malah tidak seperti itu? bahkan agak jauh berbeda.
Beberapa teka-teki itu sedikit terungkap. Setidaknya, belajar dari sejarah, dan tentu juga sejarah menjadi faktor dominan. Seperti halnya kota jakarta. Kalau sejarah tidak menentukan Jakarta sebagai pusat pemerintahan, saya yakin (haqqul yaqin)jakarta tidak akan seramai ini.
Begitu juga dengan rasa dena. sejarah mencatat, perjuangan masyarakat dan syuhada dena adalah yang paling getol dalam mengusir kemungkaran di muka bumi pertiwi ini.
Masjid raya dena di jadikan sebagai pusat markas pejuang dalam mengatur strategi perang, sehingga dinamakan masjid baitussyuhada. Untuk ukuran jaman ketika itu, para pejuang dena rasanya telah mampu menerapkan strategi yang baik dan strategis. seperti, pengosongan warga di kampung, penghadangan di sekitar karya hoe, dan beberapa tempat strategis.
Kekalahan yang dialami, bukan karena strategi yang buruk, namun karena modal peralatan yang tidak memadai. Dou balanda kani senapan, sedangkan dou dena kani keris. dou balanda nembak dor...dor...tapi dou dena mengumandangkan Allahuakbar.
Begitu sekilas inti dari kandungan buku berjudul "SEKILAS PERANG DENA" karangan Alm. H.Ahmad H. Zakariah. banyak hal lain yang belum bisa diungkapkan. namun, akan terus berlanjut, sehingga sejarah rasa dena labo para syuhadanya tetap selalu menjadi romantisme sejarah yang akan terus dikenang sepanjang masa.
Fastabiqul Khairot, Wassalamualaikum wr.wb.
Agus Rahmat(Jurnalis di kediri jawa timur)
Ngaha Ndiha Usai Pilkada RT 04
DI tengah kondisi politik pemilukada yg 'tegang', rasa kebersamaan adalah hal yang perlu. Sebab, kondisi pemilukada kabupaten Bima 2010 silam, menyisahkan persoalan yang sangat akut.
Tidak bisa dihindari, hubungan kekeluargaan menjadi sedikir renggang akibat berbeda pandangan politik. Inilah yang coba dihindari oleh beberapa orang di RT.04 Dena. Mereka membuat acara syukuran dan makan bersama di tengah gang wilayah RT.04.
Menurut ketua RT.04, Mejo ba'i, acara ini sebagai syukuran bahwa masyarakat RT.04 bisa menjaga konsolidasi. "Walau ada yang berbeda pilihan, tapi tidak sampai wara ncao ro ngango" jelasnya.
Hal tersebut diamini oleh guru sari barewo, salah seorang tokoh RT.04. "Jangan karena berbeda membuat kita bertengkar" pinta kepala SMP Campa ini.
Lanjutnya, pemilukada bukanlah ajang untuk saling bertengkar atau membenci, tapi inilah demokrasi yang harus dihargai. "Ncao ro ngango bukanlah budaya ndai mbojo" tegas guru yang pernah lama mengabdi d SMPN Bajoe-Bone Sul-Sel.
Terlihat, antusias masyarakat RT.04 sangat tinggi. Selain merupakan hal yang baru, kegiatan ini juga sangat jarang dilakukan. "Biasanya sih hanya waktu puru timbu aja" pinta seorang warga. Walau hujan sempat mengguyur, tetapi semangat kebersamaan tetap tinggi. So, kataho dana ro rasa. (gus)
Madapangga Riwayatmu Kini
Oleh: AGUS RAHMAT
LAJU motor tua ini, mulai tersendat-sendat mendaki tanjakan. Dua kali tanjakan di ncai rangga to’I dan di atas jembatan desa Ndano, sedikit banyak menguras tenaganya.
Motor tua ini telah menghantarkan kami menuju tempat wisata Madapangga.
”Taman Wisata Alam Madapangga”. Sebuah tulisan itu seolah ingin membertahu kami bahwa kami berada di tempat wisata alam. Sejenak motor di parkir dan membeli minuman botol, kami melenggang masuk. Kali ini tidak harus membeli karcis. Mungkin karcis hanya berlaku di saat musim libur.
Kami hendak ingin membasuh badan ini di sebuah kolam buatan di sisi kanan. Apes bagi kami, kolam itu sudah tidak berair. Kering seperti tolo sera atau tolo kopa yang dilanda musim kemarau. Akhirnya, kami putuskan untuk berendam di sumber mata airnya. Di sebuah pohon besar, disitulah sumber utama mata air madapangga.
Dingin, sejuk dan tentu member semangat yang luar biasa saat tubuh ini terendam air. Walau dasarnya bisa tersentuh kaki, tapi tidak sampai menimbulkan kekotoran. Airnya tetap bersih dan jernih. Lumayan menyejukkan di sore itu setelah kami menguras keringat bermain takraw di Dena.
Berjam-jam kami berendam dan bercanda gurau. Menikmati surga dunia yang dikaruniakan oleh-Nya kepada umat yang bisa bersyukur. Aku merasa tidak ingin hengkang dari tempat ini. Tapi waktu yang mulai sore, kami harus bergegas pulang.
Sejenak, di tepian pohon madapangga itu, aku bernostalgia. Pikiranku bernostalgia ketika masih kecil, masih duduk di bangku SD. Setelah pembagian rapot, sekolah selalu mengadakan liburan. Madapangga adalah tempat yang paling ramai dikunjungi. Tidak hanya warga di sekitar kec.Madapangga dan Bolo, bahkan hingga Sape dan Wera.
Sangat ramai, apalagi yang berenang di tempat kami tadi berendam. Ada yang terjun dari pinggirnya dan bahkan ada yang nekat naik pohon dan terjun dengan gaya mereka. Aku takut menjadi seperti kebanyakan mereka, karena kualitas berenangku masih sangat amatir. Sebab, kalau tidak bisa berenang, bisa-bisa kita tenggelam.
Itu kisah dulu, jauh tahun dulu. Mungkin para pembaca pun sempat menikmati berenang di dekat sumber mata air madapangga ini. Namun kini, tidak seperti dulu. Air madapangga kini telah dangkal.
Hanya air yang ada di dekat pohon besar itu yang bisa di manfaatkan untuk mandi. Di pinggirnya sudah tidak ada air lagi. Pohon itu sudah tua dan tidak bisa mendistribusikan lagi airnya hingga ke pinggir. Yang tersisa kini hanya wono saja.
Aku mencoba mengamati, kenapa berubah seperti ini? Beberapa kisah para warga, membuat ku terhenyak. ”Fu’u haju ta ese mai ba madapangga ka mboto ra ma kola” kata pria yang pernah melewatinya. Berarti, kurangnya air yang keluar karena semakin maraknya penebangan. Sehingga resapan air sudah tidak tertampung lagi.
”Kita juga sudah gak pake PDAM. Air yang keluar kecil. Lebih baik pake mesin dan dibor sendiri saja” papar warga yang lain. Itu sudah pasti. Dulu, sempat juga bapak mengeluh karena air yang keluar sangat kotor, berwarna coklat, kecil pula keluarnya.
Akankah kisah berenang di mata air madapangga hanya sebuah cerita dongeng buat anak cucu kita kelak? Atau kah pohon itu akan runtuh akibat longsor? Atau juga tempat ini akan menjadi situ sejarah saja? Bukan lagi wisata alam madapangga? Entah..entah dan entahlah..(*)
LAJU motor tua ini, mulai tersendat-sendat mendaki tanjakan. Dua kali tanjakan di ncai rangga to’I dan di atas jembatan desa Ndano, sedikit banyak menguras tenaganya.
Motor tua ini telah menghantarkan kami menuju tempat wisata Madapangga.
”Taman Wisata Alam Madapangga”. Sebuah tulisan itu seolah ingin membertahu kami bahwa kami berada di tempat wisata alam. Sejenak motor di parkir dan membeli minuman botol, kami melenggang masuk. Kali ini tidak harus membeli karcis. Mungkin karcis hanya berlaku di saat musim libur.
Kami hendak ingin membasuh badan ini di sebuah kolam buatan di sisi kanan. Apes bagi kami, kolam itu sudah tidak berair. Kering seperti tolo sera atau tolo kopa yang dilanda musim kemarau. Akhirnya, kami putuskan untuk berendam di sumber mata airnya. Di sebuah pohon besar, disitulah sumber utama mata air madapangga.
Dingin, sejuk dan tentu member semangat yang luar biasa saat tubuh ini terendam air. Walau dasarnya bisa tersentuh kaki, tapi tidak sampai menimbulkan kekotoran. Airnya tetap bersih dan jernih. Lumayan menyejukkan di sore itu setelah kami menguras keringat bermain takraw di Dena.
Berjam-jam kami berendam dan bercanda gurau. Menikmati surga dunia yang dikaruniakan oleh-Nya kepada umat yang bisa bersyukur. Aku merasa tidak ingin hengkang dari tempat ini. Tapi waktu yang mulai sore, kami harus bergegas pulang.
Sejenak, di tepian pohon madapangga itu, aku bernostalgia. Pikiranku bernostalgia ketika masih kecil, masih duduk di bangku SD. Setelah pembagian rapot, sekolah selalu mengadakan liburan. Madapangga adalah tempat yang paling ramai dikunjungi. Tidak hanya warga di sekitar kec.Madapangga dan Bolo, bahkan hingga Sape dan Wera.
Sangat ramai, apalagi yang berenang di tempat kami tadi berendam. Ada yang terjun dari pinggirnya dan bahkan ada yang nekat naik pohon dan terjun dengan gaya mereka. Aku takut menjadi seperti kebanyakan mereka, karena kualitas berenangku masih sangat amatir. Sebab, kalau tidak bisa berenang, bisa-bisa kita tenggelam.
Itu kisah dulu, jauh tahun dulu. Mungkin para pembaca pun sempat menikmati berenang di dekat sumber mata air madapangga ini. Namun kini, tidak seperti dulu. Air madapangga kini telah dangkal.
Hanya air yang ada di dekat pohon besar itu yang bisa di manfaatkan untuk mandi. Di pinggirnya sudah tidak ada air lagi. Pohon itu sudah tua dan tidak bisa mendistribusikan lagi airnya hingga ke pinggir. Yang tersisa kini hanya wono saja.
Aku mencoba mengamati, kenapa berubah seperti ini? Beberapa kisah para warga, membuat ku terhenyak. ”Fu’u haju ta ese mai ba madapangga ka mboto ra ma kola” kata pria yang pernah melewatinya. Berarti, kurangnya air yang keluar karena semakin maraknya penebangan. Sehingga resapan air sudah tidak tertampung lagi.
”Kita juga sudah gak pake PDAM. Air yang keluar kecil. Lebih baik pake mesin dan dibor sendiri saja” papar warga yang lain. Itu sudah pasti. Dulu, sempat juga bapak mengeluh karena air yang keluar sangat kotor, berwarna coklat, kecil pula keluarnya.
Akankah kisah berenang di mata air madapangga hanya sebuah cerita dongeng buat anak cucu kita kelak? Atau kah pohon itu akan runtuh akibat longsor? Atau juga tempat ini akan menjadi situ sejarah saja? Bukan lagi wisata alam madapangga? Entah..entah dan entahlah..(*)
Sigi Nae Dena, Situs Sejarah Mbojo yang Terbengkalai
BERBICARA tentang sejarah mbojo, sigi na’e Dena masuk dalam situs sejarah mbojo. Sama halnya dengan sigi Sultan Salahuddin.
Kenapa seperti itu? Sejak kolonialisme Belanda menancapkan imperialismenya di Indonesia termasuk mbojo, sigi na’e Dena adalah bukti sejarah. Sigi na’e menjadi saksi hidup perjuangan para mujahidin Dena seperti ompu anco dalam mengusir penjajah.
Sigi Dena, selain tempat ibadah, juga menjadi markas perjuangan. Di masjid inilah strategi disusun ketika Belanda datang ke Dena.
Selain itu, Dena merupakan trandseter perjuangan. Sejarah mencatat, perang mbojo saat mengusir penjajah adalah perang Dena, perang Ngali dan perang Rasanggaro.
Di wilayah kecematan Madapangga, Dena adalah pusat segalanya. Dari sisi pendidikan maupun urusan agama. Yang ada hanyalah sigi na’e Dena dan lebe na’e Dena. Sementara desa lain seperti sigi monggo, sigi tonda, cepe lebe tonda dan atau cepe lebe monggo.
Hanya saja, nostalgia sejarah itu hanya sebuah kenangan. Mungkin juga hanya pelengkap sejarah mbojo atau Dena. Tetapi, situs sejarah ini hanya menjadi angin lalu. Bandingkan kondisi sigi na’e Dena dengan sigi monggo atau pun sigi mpuri. Secara kualitas tampilan, sangat jauh berbeda. Sigi na’e Dena jauh tertinggal.
Bertahun-tahun terbengkalai dalam kondisi yang tidak menentu. Berganti-ganti rancangan bangunannya tapi tidak kunjung selesai, hingga kini. Inikah penghormatan terhadap sejarah?
Sungguh luar biasa berdosanya kita pada sejarah, setidaknya para pendiri sigi ini. Atau setidaknya para mujahid yang memanfaatkan sigi na’e Dena sebagai tempar berdakwah dan berjuang fiisabilill haq.
”Tahopu sambea di uma daripada sambea ari sigi” celetuk seorang warga yang enggan namanya diekspos. Tentu, masyarakat akan risih jika harus sholat di tempat yang masih berantakan dan cenderung terlihat kumuh dan kotor.
Imbasnya, semakin malas generasi muda dalam meramaikan sigi. Itu terjadi, hampir tidak ada aktivitas lain di sigi na’e Dena selain untuk ibada sholat wajib.
Walau kita harus mengakui, di bawah kepemimpinan Dae Ferry sebagai bupati Bima, kondisinya sudah mulai berubah. Perbaikan sudah nampak serius dikerjakan. Cukuplah kita melupakan sejarah perang Dena. Jangan sampai kita ‘menghancurkan’ situs bersejarah yang menjadi saksi hidup sejarah Dena dan mbojo ini. (gus)
Langganan:
Postingan (Atom)